Monday, 15 October 2012

Prinsip-prinsip Tazkiyatun Nufus


Majalah AsySyariah Edisi 079
(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)

Dari beberapa penjelasan sebelumnya, dapat dijelaskan beberapa prinsip tazkiyah. Di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Takhliyah dan Tahliyah
Artinya, menanggalkan dan menghiasi. Inilah dua prinsip utama dalam tazkiyatun nufus, yakni menanggalkan segala hal yang menyimpang dari syariat Allah l apabila hal itu ada pada diri kita, dengan cara menjauhi segala maksiat, dari yang terbesar—yaitusyirik kepada Allah l—, yang dibawahnya, sampai kepada hal-hal yang makruh. Apabila hal-hal tersebut tidak ada pada kita, caranya adalah dengan kita berusaha senantiasa menjaga diri dari maksiat.

Allah l berfirman,
“Katakan kepada kaum mukmin agar mereka menundukkan pandangan-pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka itu lebih suci bagi mereka….” (an-Nur: 30)
Allah l juga mengatakan,
“Surga ‘Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itu adalah balasan bagi orang yang membersihkan diri.” (Thaha: 76)
Maksudnya, menyucikan dari syirik, kekafiran, kefasikan, dan maksiat, dengan tidak melakukannya sama sekali, atau bertaubat dari dosa-dosa tersebut yang pernah dilakukannya. Selain itu, ia menyucikan diri dan menumbuhkannya dengan iman dan amal saleh. Demikian ungkap asy-Syaikh as-Sa’di t.
Lalu, dengan tahliyah—menghiasi diri dengan banyak amal saleh—dari yang terbesar, yaitu mentauhidkan Allah l sampai yang terkecil, yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Allah l berfirman,
“Kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu. Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya.” (al-Lail: 17—18)

2. Allah l lah yang menyucikan jiwa
Ketika kita mengetahui bahwa tazkiyah itu dengan amal saleh dan menjauhi maksiat, kita pun menyadari bahwa itu semua tidak dapat kita lakukan selain dengan taufik dari Allah l kepada kita semua. Bagaimana tidak, Nabi n sendiri mengatakan,

وَاللهِ، لَوْلاَ اللهُ مَا اهْتَدَيْنَا وَلاَ تَصَدَّقْنَا وَلاَ صَلَّيْنَا، فَأَنْزِلَنْ سَكِينَةً عَلَيْنَا وَثَبِّتِ الْأَقْدَامَ إِنْ لاَقَيْنَا
“Demi Allah, kalau bukan karena Allah, kami tidak mendapat petunjuk, kami tidak bisa shalat, dan kami tidak dapat memberi sedekah. Oleh karena itu, (ya Allah), turunkanlah kepada kami ketenteraman jiwa dan kokohkanlah kaki-kaki kami apabila kami bertemu musuh.” (Sahih, HR. al-Bukhari)
Allah l pulalah yang menerangkan segala sarana dan fasilitas menuju kesucian jiwa. Kalaulah tidak Dia terangkan, niscaya kita akan buta terhadap segala sarana tersebut. Oleh karena itu, dalam sebuah ayat, Allah l berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah setan. Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (an-Nur: 21)

Maksudnya, tidak ada seorang pun yang bersih dari mengikuti langkah-langkah setan. Hal ini karena setan dan bala tentaranya selalu berusaha mengajak kepada langkah-langkahnya dan menampilkannya dengan gambaran yang indah. Leboh-lebih lagi, jiwa itu condong kepadanya, bahkan memerintahkan untuk mengikutinya. Kekurangan pun menguasai hamba dari segala sisi. Iman pun tidak kuat. Apabila segala faktor pendorong ini dibiarkan (tanpa mendapat rahmat Allah l –pen.), niscaya tidak seorang pun bersih dari dosa dan kejelekan, serta tidak akan berkembang dengan melakukan kebaikan. Akan tetapi, karunia Allah l dan rahmat-Nya menuntut kesucian sebagian dari kalian. (Taisir al-Karimir Rahman, dengan sedikit diringkas)

Oleh karena itu, hendaknya seseorang banyak berdoa dan memohon kepada Allah l agar diberi taufik untuk menyucikan jiwanya. Nabi n telah mencontohkan dengan sebuah doa yang beliau panjatkan,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَالْهَرَمِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ، اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا
“Ya Allah, seseungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat penakut, sifat pelit, pikun, dan azab kubur. Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya dan sucikanlah dia. Engkaulah sebaik-baik Dzat Yang menyucikan, Engkaulah walinya dan maulanya. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, kalbu yang tidak khusyuk, jiwa yang tidak merasa puas, dan doa yang tidak terkabul.” (HR. Muslim)
Nabi n juga berlindung kepada Allah l dari kejelekan jiwa sebagaimana telah diterangkan pada pembahasan sebelumnya.

3. Ittiba’ kepada Nabi n
Mengikuti Nabi Muhammad n adalah satu-satunya jalan untuk meraih tazkiyatun nafs (kesucian jiwa) karena memang salah satu tujuan pengutusan beliau adalah untuk tazkiyah (penyucian). Menyucikan jiwa manusia yang sebelumnya telah terkotori oleh noda-noda jahiliah. Allah l berfirman,
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, serta mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali ‘Imran: 164)

Ini adalah nikmat terbesar yang diberikan oleh Allah l kepada hamba-hamba-Nya. Bahkan, ia adalah pangkal segala nikmat, yaitu pemberian karunia kepada mereka dengan datangnya Rasul n yang mulia. Dengannya, Allah l menyelamatkan mereka dari kesesatan dan melindungi mereka dari kebinasaan. Allah l berfirman, “Ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri,” yang mereka mengenal nasab, perangai, dan tutur katanya. Rasul itu berasal dari kaum dan suku mereka. Ia adalah seorang yang beritikad baik untuk kaumnya, belas kasih terhadap mereka, membacakan ayat-ayat Allah l kepada mereka, mengajari mereka lafadz-lafadz dan makna-maknanya, dan (menyucikan mereka) dari kesyirikan, maksiat, berbagai kerendahan, dan seluruh akhlak tercela. (Tafsir as­-Sa’di)

Oleh karena itu, Allah l hanya akan menerima tazkiyah yang dilakukan sesuai dengan cara yang Dia syariatkan melalui Rasul-Nya. Rasul n bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan agama ini, amalan itu tertolak. (Sahih, HR. Muslim)

Allah l telah mencanangkan tujuan, yaitu tazkiyah. Allah l pun telah memberikan sarananya melalui keterangan Rasul-Nya. Maka dari itu, siapa saja yang hanya ingin mencapai tujuan tanpa sarana yang digariskan, ia tidak akan sampai ke tujuan.

4. Tidak mengklaim diri telah suci
Ghurur, terkecoh oleh kondisi diri sendiri. Itulah kata yang tepat bagi seseorang yang telah menganggap dirinya suci. Sesungguhnya, kesucian diri kita belum terjamin. Yang kita lakukan hanya sebatas usaha dan tentu hasilnya secara pasti baru akan diketahui di akhirat kelak. Allah l lah yang paling mengetahui kondisi diri kita. Oleh karena itu, Allah l berfirman,

“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (an-Najm: 32)

Allah l mencela mereka yang menganggap suci diri mereka padahal hakikatnya tidak demikian.
“Apakah kamu tidak memerhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak teraniaya sedikit pun.” (an-Nisa: 49)
Atas dasar itulah, ketika ada seorang sahabiyah bernama Barrah, yang artinya orang yang baik, Nabi n menegurnya dan menggantinya dengan nama Zainab, yang kemudian menjadi salah seorang istri beliau n. Al-Imam Muslim t meriwayatkan cerita Zainab x,

سُمِّيتُ بَرَّةَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: لاَ تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمُ اللهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ. فَقَالُوا: بِمَ نُسَمِّيهَا؟ قَالَ: سَمُّوهَا زَيْنَبَ.
Aku diberi nama Barrah. Rasulullah n mengatakan, “Janganlah kalian menganggap suci diri kalian, Allah lebih tahu orang yang baik di antara kalian.” Mereka mengatakan, “Dengan apa kami memberi nama dia?” Beliau menjawab, “Berilah nama Zainab.”
Bahkan, sampai dalam hal memuji pun, Nabi n menyuruh kita berhati-hati agar tidak terjerumus dalam larangan ini. Beliau n berkata,

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَادِحًا أَخَاهُ لاَ مَحَالَةَ فَلْيَقُلْ: أَحْسِبُ فُلاَنًا، وَاللهُ حَسِيبُهُ، وَلاَ أُزَكِّي عَلَى اللهِ أَحَدًا، أَحْسِبُهُ كَذَا وَكَذَا-إِنْ كَانَ يَعْلَمُ ذَلِكَ مِنْهُ
Siapa saja di antara kalian yang mau tidak mau memuji saudaranya, hendaknya mengatakan, “Perkiraanku Fulan (demikian), dan Allah l lah yang lebih mengetahui tentangnya, dan aku tidak mendahului Allah l dalam menganggap suci seseorang secara pasti. Menurut saya demikian dan demikian—bila dia mengetahui hal itu darinya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Oleh karena itu, para sahabat dahulu adalah orang-orang yang sangat jauh dari sifat merasa suci. Mereka justru khawatir kalau diri mereka ternyata masih kotor.

Ibnu Abi Mulaikah t mengatakan,
أَدْرَكْتُ ثَلاَثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِي n كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ
“Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Nabi n, semuanya khawatir terhadap kemunafikan atas diri mereka.”

Ibrahim at-Taimi t mengatakan,
مَا عَرَضْتُ قَوْلِي عَلَى عَمَلِي إِلاَّ خَشِيتُ أَنْ أَكُونَ مُكَذَّبًا
“Tidaklah kubandingkan ucapanku dengan amalanku melainkan aku khawatir aku khawatir nanti menjadi orang yang didustakan.”

Disebutkan pula bahwa al-Hasan al-Bashri t dahulu mengatakan,
مَا خَافَهُ إِلاَّ مُؤْمِنٌ، وَلاَ أَمِنَهُ إِلاَّ مُنَافِقٌ
“Tidaklah seseorang khawatir (dari kemunafikan) melainkan dia seorang mukmin, dan tidaklah merasa aman (dari kemunafikan) melainkan dia adalah munafik.”

Ketiga riwayat di atas dikeluarkan oleh al-Bukhari t dalam bab “Khauful Mu’min an Yuhbatha ‘Amaluhu….”

Wallahu a’lam bish-shawab.

Disalin dari : http://asysyariah.com/prinsip-prinsip-tazkiyatun-nufus.html

MAAF, saat ini kolom komentar sudah tidak bisa berfungsi dengan baik karena adanya perubahan struktur kode pada template blog ini.


==================================
Silahkan berikan komentar Anda di laman ini.
Tautan (live links) spam dalam komentar akan terhapus secara otomatis.
Jika ingin menyisipkan tautan silakan gunakan tag: <i rel="URL">URL ANDA</i>
Untuk menyisipkan judul, gunakan tag <b rel="h3">TEKS JUDUL ANDA DI SINI</b>
Untuk menyisipkan gambar, gunakan tag <i rel="image">Tulis URL GAMBAR Anda di sini </i>
Untuk menyisipkan kode, gunakan tag <i rel="code">Tulis KODE ANDA di sini</i>
Kode yang panjang bisa menggunakan tag <i rel="pre"> KODE PANJANG di sini</i>
Untuk menciptakan efek tebal gunakan tag <b>TEKS TEBAL ANDA DI SINI</b>
Untuk menciptakan efek tulisan miring gunakan tag <i>TEKS MIRING ANDA DI SINI</i>

/* */